B. STRATEGI RELATIONSHIP
Setelah pasar sasaran ditetapkan, lalu kita juga berhasil melakukan diferensiasi produk & pemosisian merek, langkah selanjutnya adalah bagaimana agar pasar sasaran menjadi pelanggan yg loyal. Sudah terbukti bahwa pelanggan yg loyal jauh lebih menguntungkan dibanding pelanggan yg berpindah-pindah. Selain itu, menurut Little & Marandi (2003), ada beberapa perkembangan yg menyebabkan perlunya relationship marketing (RM), yaitu :
- Globalisasi Pasar. Menyebabkan persaingan yg ketat pada berbagai bidang. Maka, memperoleh & mempertahankan pelanggan menjadi keharusan.
- Perkembangan Baru dalam Bidang Teknologi. Perkembangan teknologi, terutama teknologi informasi, lebih spesifik lagi internet, memungkinkan perusahaan menjalin interaksi dengan pelanggan secara individual. Selain itu, produk dapat dikastemisasi untuk mikro segmen, bahkan utk pelanggan perseorangan.
- More demanding customer. Meningkatnya pilihan merek (yg menyebabkan kompetisi tinggi) berjalan seiring dengan meningkatnya daya beli & keinginan konsumen. Sekali pun kualitas sebuah merek baik, seorang konsumen masih mungkin mempertimbangkan pilihan lain utk memperoleh harga terbaik atau utk memperoleh variasi saja. Karena itu, perusahaan banyak yg menerapkan program loyalitas (seperti kartu anggota), bahkan yg lebih komprehensif, menerapkan pemasaran relasional.
- Kesadaran bahwa kepuasan tidak otomatis menghasilkan loyalitas. Utk mempertahankan pelanggan tidak cukup dengan hanya memuaskan mereka. Memang kepuasan adalah prasyarat loyalitas. Akan tetapi, utk menjadi loyal, diperlukan program pemasaran khusus, yg oleh Cross & Schmitt (1997) disebut customer bonding, yg salah satunya adalah relationship bonding, yg dalam penerapannya artinya sama dengan pemasaran relasional.
- Fragmentasi Media. Berbagai media massa bersaing ketat utk memperebutkan audiens saat ini. Audiens akhirnya terpecah-pecah menjadi bagian-bagian kecil sesuai dengan media yg mereka ekspos. Karena itu, komunikasi pemasaran melalui media massa semakin mahal & semakin kurang efektif. Diperlukan alternatif komunikasi dengan pelanggan. Pemasaran relasional dapat memberi jalan keluar atas masalah ini.
- Pencarian berkelanjutan utk nilai tambah dan keunggulan bersaing. Dalam persaingan yg tinggi, di mana core product cenderung sama, serta loyalitas pelanggan yg semakin rendah, perusahaan-perusahaan berupaya mendapatkan sumber keunggulan baru, salah satunya melalui RM. Mengutip Kotler, Ed Little & Ebi Marandi (2003) mengatakan bahwa produk terdiri dari 3 level. Paling dasar adalah produk inti: core product, yaitu apa yg sebenarnya ditawarkan perusahaan (what the company are really offer). Lalu, ada aktual produk, yaitu produk secara formal atau yg ada pada daftar. Kemudian, ada augmented product, yaitu nilai tambah, seperti garansi, pembelian kredit, program loyalitas & manfaat lainnya. RM dapat memberikan sumbangan pada augmented product ini, sehingga nilai total produk bertambah. Karena RM didasarkan pada komitmen & kepercayaan, keunggulan bersaing produk sulit ditiru.
Menurut Little & Marandi (2003), istilah relationship adalah utk hubungan berulang sukarela antara penjual & pelanggan. Perilaku direncanakan atau dilakukan secara sadar, koperatif, & dimaksudkan utk keuntungan bersama yg berkesinambungan. Lalu, kedua belah pihak menilainya sebagai relationship. Hubungan berulang karena terpaksa, misalnya tidak ada pilihan lain, bukanlah relationship. Walaupun listrik sering bayar pet tetap saja kita berlangganan listrik dengan PLN. Soalnya tidak ada pilihan lain. Ini contoh pembelian berulang yg bukan relationship.
Menurut Coviello, Brodie, Danaher, & Johnson (2002), pemasaran ditandai oleh proses yg multi kompleks yg dimanifestasikan dalam 4 aspek berbeda praktek pemasaran :
- Transaction marketing. Dalam praktek ini, perusahaan mengelola marketing mix utk menarik & memuaskan pelanggan.
- Database marketing. Pada tahap ini perusahaan sudah menggunakan alat penyimpan data berbasis teknologi untuk menarget & mempertahankan pelanggan.
- Interaction marketing. Perhatian utama pada tahap ini adalah membangun hubungan antar pribadi (interpersonal relationship) utk menciptakan interaksi koperatif antara penjual & pembeli.
- Network marketing, dengan mana perusahaan membangun relationship antar perusahaan utk mengkoordinasi kegiatan semua pihak yg terlibat demi kepentingan bersama, pertukaran sumberdaya, dll.
Relationship marketing sendiri masih dapat digolongkan menjadi dyadic relationship & networking marketing. Dyadic relationship adalah relationship marketing yg memusatkan perhatian hanya pada relasi antara perusahaan & pelanggan. Termasuk di dalamnya adalah database marketing (nomor 2) & interaction marketing (nomor 3). Sedangkan dalam networking marketing, selain dengan pelanggan, relationship juga diperluas dengan stakeholder yg lain, seperti pemasok, distributor, pengecer, dll.
Relationship dengan Pelanggan
Dasar pemikiran yg melandasi pentingnya menjaga hubungan dengan pelanggan adalah mempertahankan pelanggan yg loyal jauh lebih menguntungkan dibanding mencari pelanggan baru. Pelanggan dimaksud bisa konsumen individu, rumah tangga, maupun organisasi komersil & non-komersil serta institusi pemerintah. Utk mengelola relationship dengan pelanggan dilakukanlah customer relationship management (CRM). Dalam kerangka hubungan dyadic, CRM diartikan sebagai proses sistematis utk mengelola inisiasi, pemeliharaan, & pemutusan customer relationship, yg mencakup semua kontak pelanggan, utk memaksimalkan nilai portofolio relasional (relationship portfolio) (Reinartz, Kraft, & Hoyer, 2002).
Hubungan antara perusahaan & para pelanggannya disebut portofolio karena memang perusahaan meletakkan bisnis pada banyak hubungan, sebagian diantaranya menguntungkan, sebagian merugikan (cost engineer), sebagian lagi malah membahayakan. Portofolio relasional menguntungkan apabila sebagian besar pelanggan adalah pelanggan menguntungkan. Proses CRM terdiri 3 bagian utama (Reinartz, Kraft, & Hoyer 2002), yaitu :
1. Inisiasi
Inisiasi dapat diartikan sebagai inisiatif penciptaan relationship. Dalam hubungan antara perusahaan & pelanggan, maka inisiatif pembentukan relationship berada pada pihak perusahaan. Karena itu, langkah pertama yg perlu dilakukan perusahaan adalah menentukan dengan pelanggan bagaimana relationship dibentuk. Idealnya, relationship dijalin dengan pelanggan yg menguntungkan. Pelanggan yg potensial berada pada posisi cost engineer & danger zone sebaiknya dihindari. Pelanggan pada zona ini diperlakukan dengan pemasaran transaksional. Pada sisi lain, pelanggan berada dalam situasi mengevaluasi, apakah lebih menguntungkan terlibat dalam relationship. Kalau terlibat, dengan mempertimbangkan benefit & cost, bentuk relationship mana, & dengan supplier mana, yg paling menguntungkan baginya.
Manajemen akuisi pelanggan berkaitan dengan proses perekrutan pelanggan dari seseorang yg belum dikenal (stranger) menjadi kenalan (acquaintance), dari kenalan menjadi teman (friend), & dari teman menjadi mitra (partner) (Johnson & Selnes, 2004). Dalam perekrutan pelanggan dari seseorang yg belum dikenal menjadi kenalan, nilai yg diberikan cukup rata-rata saja. Kepuasan pelanggan perlu dijamin. Pelanggan dikenai dengan harga yang fair. Dengan semakin seringnya transaksi, persepsi resiko & biaya semakin berkurang. Konsumen akan semakin terbiasa dengan perusahaan, sehingga transaksi berulang akan semakin terjadi. Keunggulan bersaing perusahaan atas pelanggan demikian terbatas. Sebab, nilai yg diberikan rata-rata & produk yg diperoleh pelanggan juga standar.
Peralihan dari kenalan menjadi teman memerlukan tawaran yg lebih unik & nilai yg berbeda, sehingga pelanggan bersedia meneriman harga yg lebih mahal. Pada saat ini kepercayaan sudah muncul dari kedua belah pihak. Keunggulan bersaing perusahaan juga lebih tinggi. Sebagai teman, pelanggan membutuhkan informasi lebih banyak tentang produk & perusahaan melalui iklan maupun mulut ke mulut (word-of-mouth communication). Apabila teman dijadikan menjadi mitra, maka relationship tidak lagi satu arah, melainkan 2 arah. Artinya, pelanggan & perusahaan berkedudukan sebagai pembeli & penjual secara bersamaan. Perusahaan menjual sesuatu kepada pelanggan & pelanggan juga dapat menjual sesuatu pada perusahaan. Oleh karena itu, diperlukan koordinasi kegiatan-kegiatan kedua pihak yg saling melengkapi. Penggerak utama relationship dalam tahap ini adalah kepercayaan & komitmen. Nilai yg lebih tinggi menjadi penarik bagi pelanggan utk terlibat sebagai mitra.
2.Pengelolaan
Pengelolaan berkaitan dengan 2 hal, yaitu:
- mempertahankan hubungan menguntungkan selama mungkin dengan pelanggan,
- mengoptimalkan hubungan dengan pelanggan.
a. Evaluasi Pelanggan. Sebelum pengelolaan dilakukan, dilakukan dulu evaluasi utk mengetahui apakah pelanggan berada pada titik awal, tengah, maupun akhir masa menguntungkan. Kalau sudah berada di akhir masa berlangganan, perlu dievaluasi lagi apakah dilakukan penataan kembali (recovery) ataukah dibiarkan putus. Pengambilan keputusan tersebut dapat dibantu oleh persamaan multivariat utk mengidentifikasi status pelanggan.
b. Retensi. Retensi pelanggan dilakukan berdasarkan tingkat relationship yg terjalin antara perusahaan & pelanggan. Menurut Berry (1995), ada 3 pengikat antara perusahaan & pelanggan, sekaligus menentukan tingkat relationship, yaitu (1) retensi finansial. Retensi ini dilakukan melalui harga yg lebih rendah & keuntungan-keuntungan finansial lain yg diberikan perusahaan kepada pelanggan (seperti diskon kuantitas, undian, poin, voucher belanja, dll); (2) retensi melalui ikatan sosial antara perusahaan & pelanggan maupun antara pelanggan & pelanggan. Ikatan sosial antara perusahaan & pelanggan dilakukan dengan membuat hubungan yg lebih personal. Hubungan antar-pelanggan dibentuk melalui klub atau komunitas pelanggan. Sebagian klub dibentuk murni atas inisiatif pelanggan; (3) retensi melalui ikatan stuktural antara perusahaan & pelanggan. Dalam ikatan demikian, terjalin aktivitas bisnis perusahaan maupun aktivitas bisnis pelanggan.
3.Up-Selling/Cross-Selling
Ini merupakan kegiatan utk memaksimalkan transaksi antara perusahaan & pelanggan. Up selling berarti pelanggan membeli lebih banyak atau membeli versi produk yg lebih tinggi, sehingga uang yg dikeluarkan konsumen dari dompetnya utk perusahaan (wallet share) lebih banyak. Cross-selling (penjualan silang) adalah kejadian, di mana pelanggan tidak hanya membeli produk utama, akan tetapi juga produk lain dari perusahaan. Misalnya, produk utama PT. Pos Indonesia adalah layanan pengiriman surat & paket. Namun, perusahaan ini juga memiliki layanan yg lain, yaitu perbankan melalui Bank Pos maupun warung internet. Cross-selling terjadi apabila pelanggan juga memakai layanan perbankan atau warung internet, selain layanan pengiriman surat & paket. Tujuan cross selling juga utk meningkatkan wallet share.
4. Referrel Management
Penganjur (referral) merupakan seseorang atau sebuah organisasi yg merekomendasikan perusahaan (atau produknya) kepada calon pelanggan lain. Christopher, Payne & Balltine (2002) membedakan 2 kategori penganjur, yaitu pelanggan & bukan pelanggan. Penganjur pelanggan (customers referral) dibedakan lagi menjadi penganjur loyal (advocacy referral) & penganjur atas inisiasi perusahaan (company-initiated customer referral).
Penganjur loyal berpromosi kepada calon pelanggan lain atas dasar kecintaannya pada perusahaan (atau produknya). Kecintaan ini merupakan wujud loyalitas. Loyalitas sendiri merupakan hasil dari kepuasan, yg menghasilkan kepercayaan & komitmen. Penganjur loyal merupakan aset penting bagi perusahaan. Selain tidak dibayar, pengaruh mereka demikian kuat karena rekomendasi didasarkan atas pengalaman sendiri yg memuaskan.
Penganjur atas inisiasi perusahaan, dimana perusahaan melakukan pengarahan langsung agar pelanggan mau jadi penganjur. Pengarahan dilakukan dengan 2 cara utama, yaitu meminta pelanggan menjadi penganjur sukarela atau menawarkan nilai atas jasanya dalam bentuk komisi, program pemasaran bersama, mempromosikan timbal balik (pelanggan mempromosikan perusahaan, perusahaan juga mempromosikan pelanggan) & kesempatan bagi pelanggan membentuk jejaring (network) dengan pelanggan lain (Prince, 1997).
Oleh Christopher et al. (2002), penganjur bukan pelanggan dibagi ke dalam 4 golongan, yaitu :
- Penganjur Umum. Kategori ini dapat dibagi ke dalam 4 kelompok, yaitu (1) penganjur profesional. Tipe ini melakukan perekomendasian perusahaan sebagai profesi. Istilah umum yg kita kenal adalah konsultan. Banyak badan usaha dalam negeri yg menjadi perwakilan perguruan tinggi luar negeri di Indonesia. Badan usaha itu terlibat dalam pameran, layanan informasi, & pendaftaran ke perguruan tinggi yg diwakilinya.
- penganjur ahli, yaitu kalangan yg didengarkan calon pelanggan atas dasar keahlian atau pengetahuan mereka pada bidang yg digeluguti perusahaan.
- penganjur spesifikasi, yaitu organisasi atau individu yg merekomendasikan produk yg sedang mereka gunakan. Contoh, tukang bangunan yg merekomendasikan pipa paralon yg sedang mereka pakai dalam bangunan.
- penganjur produk pengganti atau pelengkap (complemetary products). Anjuran ini dapat muncul karena individu atau organisasi sudah tidak mampu memenuhi permintaan, sehingga menganjurkan produk pesaing. Bisa pula karena perusahaan (produk) sedang tidak bekerja. Misalnya, sebuah bengkel mobil menganjurkan pelanggan ke bengkel saingan karena alat mereka (misalnya pompa hidrolik) sedang rusak.
Penganjur Berbasis Insentif. Sesuai dengan istilahnya, penganjur ini bukan pelanggan, tetapi bersedia merekomendasikan perusahaan (atau produknya) karena memperoleh insentif dari perusahaan. Cara ini sudah lama dijalankan pada bidang eceran. Seringkali pramuniaga ngotot merekomendasikan suatu merek karena dari setiap penjualan merek itu mereka mendapat sejumlah insentif.
Penganjur Staf. Staf dapat digunakan sebagai penganjur yg efektif. Partisipasi staf dapat terjadi secara sukarela atau dengan sejumlah insentif. Pada sebuah perguruan tinggi, seorang staf begitu yakin akan kualitas perguruan tinggi tempatnya bekerja. Sehingga, tanpa diminta, dia merekomendasikan perguruan tingginya kepada para calon mahasiswa. Pada perguruan tinggi lain, dibuat sistem perekrutan mahasiswa baru, di mana setiap staf berhak memperoleh insentif berupa 20% uang pembangunan yg disetorkan mahasiswa yg dibawanya.
5. Manajemen Pemutusan
Tahap ini didahului oleh evaluasi konsumen utk mengidentifikasi pelanggan yg dengannya relationship layak diakhiri. Kata diakhiri tidak berarti bahwa perusahaan tidak berhubungan bisnis lagi sama sekali dengan pelanggan. Yg diakhiri adalah relationship. Hubungan kembali pada bentuk paling sederhana, yaitu hubungan jual-putus (transactional). Dalam hubungan ini, pembeli diperlakukan sama seperti seseorang yg tidak dikenal (stranger) yang boleh saja melakukan transaksi dengan perusahaan. Penurunan derajat perlu dilakukan sedemikian agar pelanggan tidak kecewa & berubah menjadi orang yg menjelek-jelekkan perusahaan (devil advocate). Yg perlu ditekankan adalah penurunan derajat hubungan disebabkan oleh perilaku pelanggan sendiri yg tidak menginginkan adanya relationship. Pengelolaan dilakukan dengan program retensi pelanggan yg disebut juga program loyalitas (loyalty program). Ada berbagai bentuk program ini, seperti kartu anggota (seperti diterapkan Makro), poin atau diskon kumulatif.
Relationship dapat berkembang lebih dari sekedar hubungan perusahaan & pelanggan (kita namakan pelanggan fokal). Bagi pelanggan, perusahaan adalah pemasok produk (kita namakan pemasok fokal) yg mereka butuhkan. Pemasok fokal sendiri merupakan pelanggan dari sejumlah pemasok lain. Bahkan, pelanggan fokal merupakan pemasok bagi pelanggan-pelanggannya. Jadi, apabila diperluas, relationship tidak hanya antara pemasok fokal & pelanggan fokal, akan tetapi juga mencakup relationship yg terkait dengan keduanya, baik ke hulu (dengan pemasok fokal) maupun ke hilir (pelanggan fokal).
Penggerak Relationship
Memang banyak faktor yg mempengaruhi langgeng tidaknya relationship. Namun, dasar dari semuanya itu adalah kepuasan pelanggan. Kepuasan merupakan syarat utama bagi terbentuknya komitmen & kepercayaan kepada perusahaan. Ketiga konsep yg saling berkaitan, yaitu kepuasan, komitmen, & kepercayaan, merupakan komponen pembentuk loyalitas. Dengan loyalitaslah konsumen bersedia berhubungan dalam jangka panjang dengan perusahaan. Menurut Aaker (1991), pelanggan yg loyal ditandai oleh ciri-ciri : (1) puas terhadap perusahaan (atau produknya), (2) memiliki sikap positif terhadap perusahaan (atau produknya), (3) bangga terhadap perusahaan (atau produknya), (4) menjadi pembela perusahaan (atau produknya), (5) merekomendasikan perusahaan (atau produknya), & (6) bersedia membayar harga lebih mahal walaupun ada produk pesaing yg lebih murah. Karena itu, dalam mengembangkan relationship marketing, para pemasar perlu mengetahui konsep kepuasan konsumen (pelanggan).
Perusahaan perlu memuaskan konsumen. Selain utk menghindari keluhan konsumen yg diceritakan (devil advocate), tujuan yg tidak kalah penting adalah utk menjadikan kosumen menjadi pemasar gratis. Namanya komunikasi mulut ke mulut (word-of-mouth communication). Orang demikian sudah pasti loyal. Aaker (1991) menamainya comitted buyer. Oleh Kotler (2000) disebut hardcore loyal. Menjaga konsumen yg loyal lebih berharga dari mengejar konsumen baru yg belum tentu loyal.
Dalam era globalisasi ini, persaingan bisnis baik di pasar domestik maupun di pasar internasional semakin tajam. Setiap perusahaan harus berusaha utk memuaskan pelanggan bila ingin memenangkan persaingan & tetap bertahan keberadaanya. Menurut Kotler (2000), kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja (atau hasil) suatu produk yg ia rasakan dibandingkan dengan harapannya. Umumnya harapan pelanggan merupakan perkiraan atau keyakinan pelanggan tentang apa yg akan diterimanya bila ia membeli atau mengkonsumsi suatu produk (barang atau layanan). Sedangkan kinerja yg disampaikan adalah persepsi pelanggan terhadap apa yg ia terima setelah mengkonsumsi produk yg dibeli.
Banyak perusahaan yg menyatakan bahwa tujuan perusahaan yg bersangkutan adalah utk memuaskan pelanggan. Cara pengungkapannya sangat beragam. Ada yg merumuskannya “pelanggan adalah raja”, “kepuasan pelanggan adalah tujuan kami”, ”mewujudkan harapan pelanggan” dsb. Situasi ini tidak hanya terjadi pada sektor swasta tetapi juga pada perusahaan atau instansi pemerintah. Kini semakin disadari bahwa pelayanan & kepuasan pelangan merupakan aspek vital dalam rangka bertahan dalam bisnis & memenangkan persaingan. Meskipun demikian tidaklah mudah utk mewujudkan harapan konsumen secara menyeluruh. Pelanggan yg dihadapi saat ini sudah menyadari hak-haknya. Oleh karena itu, maka sangat tidak realistis bila suatu perusahaan mengharapkan tidak ada pelanggan yg tidak puas. Namun tentu saja perusahaan bisa berusaha meminimalkan ketidakpuasan pelanggan dengan memberikan pelayanan yg makin hari makin baik. Pada saat bersamaan, perusahaan juga harus memperhatikan konsumen yg merasa tidak puas.
Lalu bagaimana sebenarnya para pembeli membentuk harapan mereka? Harapan para pembeli dipenuhi oleh pengalaman pembelian mereka sebelumnya, nasihat teman atau kolega, serta janji & informasi pemasar & para pesaingnya. Jika para pemasar meningkatkan harapan terlalu tinggi, para pembeli kemungkinan besar akan kecewa.
1. Memantau Kepuasan Pelanggan
Ada beberapa metode yg dapat dipergunakan setiap perusahaan utk memantau kepuasan pelanggannya. Kotler (1997) mengemukakan 3 metode utk mengukur kepuasan pelanggan, yaitu :
a. Sistem keluhan dan saran
Setiap perusahaan yg berorientasi pada pelanggan perlu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para pelanggannya utk menyampaikan saran, pendapat & keluhan mereka. Media yg bisa digunakan meliputi kotak saran yg diletakkan ditempat-tempat yg strategis, menyediakan kartu komentar, menyediakan saluran telepon khusus, dll. Informasi yg diperoleh melalui metode ini dapat memberikan ide-ide baru & masukan yg berharga bagi perusahaan sehingga memungkinkannya utk memberikan respon secara cepat & tanggap terhadap setiap masalah yg timbul. Meskipun demikian karena metode ini cenderung bersifat pasif, maka sulit mendapatkan gambaran lengkap mengenai kepuasan & ketidakpuasan pelanggan. Tidak semua pelanggan yg tidak puas akan menyampaikan keluhannya. Bisa saja mereka langsung beralih pemasok & tidak akan membeli layanan perusahaan lagi. Upaya mendapatkan saran (terutama saran yg berkualitas) dari pelanggan juga sulit dilakukan dengan metode ini. Terlebih lagi bila perusahaan tidak memberikan imbal balik yg memadai kepada mereka yg telah menyumbangkan ide kepada perusahaan.
b. Berpura-pura Menjadi Pembeli (Ghost Shopping)
Metode ini dilaksanakan dengan cara mempekerjakan beberapa orang utk berperan atau bersikap sebagai pelanggan potensial produk perusahaan & pesaing. Lalu ghost shopper tersebut menyampaikan temuan-temuannya mengenai kelemahan & kekuatan produk perusahaan & pesaing berdasarkan pengalaman mereka dalam pembelian produk-produk tersebut. Selain itu para ghost shopper juga dapat mengamati atau menilai cara perusahaan & pesaingnya menjawab pertanyaan pelanggan & menangani setiap keluhan.
Ada baiknya para menajer perusahaan langsung terjun sebagai ghost shopper utk mengetahui langsung bagaimana karyawannya berinteraksi & memperlakukan para pelanggannya. Tentunya karyawan tidak boleh tahu kalau atasannya baru melakukan penelitian, karena bila hal ini terjadi, perilaku mareka akan sangat ‘manis’ & penilaian akan menjadi bias.
c. Survei Kepuasan Konsumen
Umumnya banyak penelitian mengenai kepuasan pelanggan melalui metode survei, baik melalui pos, telepon, maupun wawancara pribadi. Melalui survei, perusahaan akan memperoleh tanggapan & umpan balik secara langsung dari pelanggan & sekaligus juga memberikan tanda positif bahwa perusahaan menaruh perhatian terhadap pelanggannya. Pengukuran kepuasan pelanggan melalui metode ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya : (1) pernyataan langsung, (2) problem analisis, (3) analisis tingkat kepentingan-kinerja, & (4) ketidakpuasan turunan (derived dissatisfaction).
Dari defenisi-defenisi di atas, dapat dikatakan bahwa 2 faktor yg berpengaruh pada kepuasan adalah :
a. Harapan (Expectation)
Harapan adalah kata yg sering digunakan & jelas bagi kebanyakan orang. Perhatikan pernyataan-pernyataan berikut :
- “Melihat pagi cerah begini, saya mengharapkan hari akan cerah”
- “Setelah menjadi sarjana, saya mengharapkan kalian menciptakan lapangan kerja, bukan mencari kerja”.
- “Dengan harga sekitar Rp 70 juta, saya tidak mengharapkan mobil Chery QQ sebaik mobil Jepang sekelas, yaitu Suzuki Karimun Estillo”.
- “Akibat banyaknya penduduk & terbatasnya lapangan kerja, persaingan utk memperoleh pekerjaan yg baik sangat ketat saat ini. Oleh karena itu, saya mengharapkan pendidikan terbaik utk anak-anak saya. Saya berani membayar mahal utk itu”.
Dalam pernyataan ketiga, harapan adalah suatu konsekuensi. Dalam contoh ini, harapan ‘Dast Oto tidak sebaik Suzuki Carry’ adalah konsekuensi dari harganya yg lebih rendah. Konsekuensi hampir sama sebenarnya dengan fungsi. Pernyataan ‘mobil sedan yg saya beli saya harapkan nyaman’, bisa saja menjadi ‘sebagai sedan, (konsekuensinya) mobil yg saya beli saya harapkan nyaman’. Perbedaannya adalah bahwa di dalam harapan sebagai konsekuensi, ada komparasi atau perbandingan. Objek dibandingkan dengan referensi atau standar yg diketahui.
Dalam pernyataan keempat, harapan berasal dari kebutuhan. Malah, seringkali harapan dicampuradukkan dengan kebutuhan. Misalnya, seseorang membeli pembuka botol karena membutuhkan alat yg bisa membuka botol secara praktis. Harapannya juga, pembuka botol yg dibeli dapat membuka botol secara praktis.
Harapan Berdasarkan Tingkat Keinginan
Ada yg mengatakan begini : “Konsumen pasti menginginkan yg terbaik”. Dengan kata lain, harapannya tidak perlu diukur lagi. Kondisi yg terbaik, pasti itulah yg diinginkan konsumen. Alasannya, setiap orang pasti mencari yg terbaik bagi dirinya. Masalahnya, kebutuhan manusia tidak terbatas. Berarti, ‘kondisi terbaik’ yg diinginkan konsumen tidak terbatas. Konsekuensinya, harapan tidak bisa diukur. Karena batas harapan tidak jelas, maka dalam pengukuran perilaku konsumen, disarankanlah faktor harapan tidak perlu diikutsertakan. Kalau memang sepakat harapan tidak terbatas, mau tidak mau kita harus setuju dengan usulan itu. Namun, dengan menyadari bahwa harapan itu sendiri dapat diklasifikasi, akan semakin jelas harapan mana yg diukur dalam konteks riset kepuasan konsumen.
Dari berbagai sumber, Oliver (1999) menyimpulkan adanya beberapa jenis harapan. Secara berjenjang, jenis-jenis harapan tersebut dapat disusun mulai dari tingkat paling rendah sampai tingkat paling tinggi. Harapan tertinggi, ada pada tingkat ideal. Yg ini sulit dijangkau. Harapan ideal ini berbicara pada level yg tidak ada kekurangannya atau sempurna. Di bawah yg ideal adalah exellence atau istimewa. Ini adalah suatu harapan yg tingkat yg dinginkan pada pada posisi exellence. Ini sebenarnya sedikit di bawah ideal. Tetapi, sulit pula mengatakan berapa jauh jaraknya dari ideal. Itulah sebabnya, Zeithhaml, Parasuraman & Berry, seperti dikutip Oliver (1999), memposisikan exellence atau superioritas pada tingkat tertinggi. Pada saat orang berbicara : “This is what the product to deliver to satisfy me” atau “This is I know I want”, sebenarnya seseorang berbicara desired expectation. Harapan yg diinginkan itu berbicara soal sesuatu yg diidam-idamkan, tetapi belum pada batas utopia (sesuatu hal yg tidak mungkin). Level di atasnya, exellence dan ideal expectation, cenderung pada batas utopia.
Deserved level, yaitu harapan setelah desired level, adalah harapan yg kita nilai layak sesuai dengan pengorbanan atau hak kita. Misalkan kita menginap di hotel dengan tarif Rp 1 juta per malam. Tentu, kita mengharapkan layanan yg layak untuk tarif sebesar itu. Pernyataan berikut mencerminkan harapan pada level ini: “Saya telah membayar sejumlah besar uang ke sekolah Bapak. Saya berhak dong mendapat layanan yg sepadan”. Harapan pada level kebutuhan bersifat mendasar. Kalau haus, yg anda butuhkan adalah air. Tetapi, yg Anda inginkan adalah coca-cola. Jadi, kalau keinginan berhubungan dengan hasrat, maka kebutuhan berhubungan dengan kondisi objektif tentang apa yg diperlukan.
Di bawah needed-level expectation, ada adequate-level expectation. Ini adalah harapan level cukup atau sedang. Yg paling bawah adalah level minimum yg bisa ditoleransi. Ini adalah batas kesabaran konsumen. Batas ini sebenarnya ada pada level buruk. Kalau pun masih dapat diterima, batasnya adalah kemampuan konsumen menerima situasi tidak enak.
Bagaimana Harapan Terbentuk?
Sumber eksternal. Ada 2 sumber yg membentuk harapan, yaitu sumber eksternal & internal. Yg paling banyak adalah sumber eksternal. Diantaranya, yg pertama adalah klaim promosi. Ini paling kuat. Kalau dengan slogan ‘SHOGUN KOK DILAWAN’, iklan Shogun mengatakan sepeda motor Suzuki Shogun paling cepat di kelasnya, harapan pembeli tentunya tarikan sepeda motor tersebut paling kencang. Harapan seperti ini paling sensitif. Kalau ternyata tidak terbukti, paling mudah menimbulkan kekecewaan konsumen.
Sumber eksternal kedua adalah informasi dari mulut ke mulut. Berita yg menyebar dari satu orang ke orang lain dapat membentuk harapan. Misalnya, bakmi Gajah Mada terkenal enak. Bagi yg mendengar informasi itu, tentu mengharapkan bakmi yg dijual di restoran bernama Gajah Mada enak.
Terakhir, aspek-aspek yg terkait dengan produk, seperti harga, kemasan, ketersediaan, merek, store image & iklan, juga mempengaruhi harapan. Soal harga jelas. Harga yang mahal membentuk harapan akan kinerja produk yg tinggi. Bila membaca buku-buku manajemen pemasaran, keterkaitan aspek lain dapat dikaitkan dengan harapan. Khusus iklan, yg dimaksud di sini bukan isinya, melainkan metoda, format & frekuensinya. Iklan televisi dianggap memiliki reputasi lebih tinggi, sehingga membentuk harapan akan reputasi produk. Dari segi format, iklan berwarna lebih bergengsi dibanding iklan hitam putih. Dari segi frekuensi, semakin sering iklan muncul, reputasi produk meningkat. Harapan juga meningkat. Isi terkait dengan klaim promosi yg telah dibicarakan.
Sumber internal. Sumber internal adalah diri sendiri. Secara internal, ada 2 sumber yg terkait, yaitu pengalaman & kebutuhan. Pengalaman yg baik pada masa yg lalu atau masa sekarang, tentu menimbulkan harapan akan pengalaman yg sama kemudian. Sedangkan kebutuhan berkorelasi dengan needed-level expectation.
b. Perceived Quality
Konsep ini merupakan bagian persepsi yg menyoroti kualitas secara khusus. Tentunya, kualitas berdasarkan persepsi konsumen. Dalam pemasaran, yg paling penting adalah persepsi. Malah, bagi pemasar, perlu ada keyakinan bahwa persepsi adalah realitas. Soal kualitas juga demikian. Ada kualitas objektif, ada pula kualitas menurut persepsi konsumen (perceived quality). Yg terpenting adalah persepsi di mata konsumen. Kotler (2000) mengatakan bahwa : “Quality is the totality of feature and characteristics of a product or service that bear on its ability to satisfy stated or implied needs”. Artinya, kualitas adalah totalitas fitur & karakteristik yg memampukan produk memuaskan kebutuhan yg dinyatakan maupun tidak dinyatakan. Apakah sebuah produk sudah memenuhi kebutuhan? Jawabannya tergantung pada penilaian subjektif konsumen. Lagi-lagi, persepsilah yg berlaku di sini. Maksudnya, pengertian diberikan Kotler pun mengatakan kualitas sebagai persepsi.
Yg lebih tegas mengatakan kualitas produk dalam pemasaran sebagai PQ adalah I. Leonard A. Morgan. Sebagaimana dikutip Kotler (1997), dalam “Marketing Memo Pursuing A Total Quality Marketing Strategy”, ia mengatakan bahwa : “Quality must be perceived by customer. Quality work must begin with the customers’ need and end with the customers’ perception. Quality improvement are only meaningful when they are perceived by the customers”.
Cleland & Bruno (1996) memberikan 3 prinsip tentang PQ, yaitu:
- Kualitas bersumber aspek produk & bukan produk atau seluruh kebutuhan bukan harga (nonprice needs) yg dicari konsumen utk memuaskan kebutuhannya. Kedua ahli ini memang berpendapat bahwa yg dipertimbangkan konsumen dari sebuah produk mencakup 3 aspek utama, yaitu harga, produk & non-produk. Produk adalah standar yg diharapkan dari sebuah produk. Pada sebuah televisi misalnya, aspek produk adalah ukuran layar, suara, gambar, kelengkapan fungsi & desain. Sedangkan aspek non-produk terdiri dari garansi, reputasi, & layanan perbaikan bengkel resmi.
- Cleland & Brono (1996) berbeda dari Aaker (1991) soal sumber-sumber kualitas. Namun, kalau dicermati, perbedaannya hanya masalah istilah. Esensinya sama saja, yaitu mereka mengukur kualitas berdasarkan banyak attribut (multi-attribut analysis).
- Kualitas ada kalau masuk persepsi konsumen. Quality exists only as is perceived by customers. Kalau konsumen mempersepsikan kualitas sebuah produk rendah, maka kualitas produk itu rendah, apa pun realitasnya. Persepsi lebih penting dari realitas. Konsumen membuat keputusan berdasarkan persepsi. Jadi, persepsi adalah realitas.
- PQ diukur secara relatif terhadap pesaing. Aaker juga sependapat dalam hal ini. Kalau produk A sederhana saja, akan tetapi produk pesaing lebih sederhana lagi, maka produk A memiliki kualitas. Sebaliknya, kalau produk B menawarkan produk yg baik, akan tetapi produk pesaing lebih baik lagi, maka produk B tidak memiliki kualitas.
2. Survai
Kepuasan Konsumen
Umumnya banyak penelitian mengenai kepuasan pelanggan
melalui metode survei, baik
melalui pos, telepon, maupun wawancara pribadi. Melalui survei, perusahaan
akan memperoleh tanggapan & umpan balik secara langsung dari pelanggan & sekaligus juga
memberikan tanda positif bahwa perusahaan menaruh perhatian terhadap
pelanggannya. Pengukuran kepuasan pelanggan melalui metode ini dapat dilakukan
dengan berbagai cara, diantaranya :
a. Pernyataan
langsung
Pernyataan
langsung dapat dilakukan utk menyatakan kepuasan terhadap merek secara umum (overal
satisfaction) atau per atribut.
1) Kepuasan Secara Umum. Pengukuran
kepuasan terhadap merek secara keseluruhan (overall satisfaction)
dilakukan secara langsung melalui pertanyaan seperti “Ungkapan seberapa puas
Saudara terhadap pelayanan KKC?
Terdapat beberapa
alternatif skala pengukuran sebagai berikut :
2)
Pernyataan
Langsung per Atribut. Hal pertama yg perlu diketahui kalau menggunakan
pendekatan ini adalah atribut apa saja yg terdapat dalam suatu produk.
Berdasarkan suatu penelitian, atribut pusat kebugaran KKC diketahui adalah
seperti pada Tabel III-1. Selanjutnya, kita menanyakan kepuasan konsumen terhadap
setiap atribut.
Tabel III-1. Contoh Pengukuran Kepuasan Metode
Pernyataan Langsung Multiatribut
a. Lokasi
|
Sangat tidak puas
1 2 3
4 5 Sangat puas
|
b. Fasilitas/perlengkapan
|
Sangat tidak puas
1 2 3
4 5 Sangat puas
|
c. Kenyamanan tempat
|
Sangat tidak puas
1 2 3
4 5 Sangat puas
|
d. Harga
|
Sangat tidak puas
1 2 3
4 5 Sangat puas
|
e. Jadwal kegiatan
|
Sangat tidak puas
1 2
3 4 5
Sangat puas
|
f. Ketepatan waktu mengajar para instruktur
|
Sangat tidak puas
1 2 3
4 5 Sangat puas
|
g. Mutu instruktur
|
Sangat tidak puas
1 2 3
4 5 Sangat puas
|
h. Pelayanan/sikap,
keramahan, kesopanan, kejujuran, & tanggung jawab
|
Sangat tidak puas
1 2 3
4 5 Sangat puas
|
i. Kebersihan
|
Sangat tidak puas
1 2 3
4 5 Sangat puas
|
b. Problem analysis
Melalui wawancara mendalam oleh pewawancara terlatih, pelanggan diminta
utk mengungkapkan 2 hal pokok. Pertama, masalah-masalah yg mereka hadapi berkaitan dengan
penawaran dari perusahaan. Kedua, saran-saran utk melakukan perbaikan. Dari
hasil wawancara disimpulkan kepuasan pelanggan.
c. Importance-performance Analysis
Teknik ini sebenarnya bermanfaat utk manajemen atribut
produk. Adapun kepuasan disimpulkan melalui kinerja (performance) setiap
atribut. Apabila kinerja tinggi, kepuasan juga tinggi. Pengambilan kesimpulan
demikian menurut Oliver (1999) merupakan salah satu model mengukur kepuasan. Idealnya,
pada semakin penting, semakin tinggi kinerja suatu atribut. Apabila aturan ini
dipenuhi, maka manajemen produk telah dilakukan dengan baik, sehingga
memberikan kepuasan kepada para pelanggan. Utk mengetahui apakah manajemen
produk telah ataukah belum dilakukan dengan baik, kita dapat memetakan seluruh
atribut ke dalam matrik importance-peformance. Tingkat kepentingan (importance)
dijadikan sumbu Y & kinerja atribut dijadikan sumbu X.
Apa pun kesimpulannya, konsumen puas atau tidak,
perusahaan tetap harus membuat skala prioritas terhadap atribut dalam membenahi
produk. Terdapat 4 perlakuan
berdasarkan skala prioritas dengan 4 rekomendasi terhadap manajemen atribut produk sbb :
a.
Prioritas
Utama. Yg termasuk dalam
kategori ini adalah atribut yg tingkat kepentingannya di atas rata-rata
(relatif penting), akan tetapi performanya masih di bawah rata-rata. Idealnya,
kalau tingkat kepentingan di atas rata-rata, performa juga di atas rata-rata.
Oleh karena itu, perusahaan harus memberikan perhatian utama pada
atribut-atribut yg termasuk pada kategori ini.
b.
Pertahankan. Yg termasuk dalam kategori ini adalah atribut-atribut
yg tingkat kepentingannya di atas rata-rata & performanya juga di atas rata-rata. Ini adalah kondisi
ideal, oleh karena itu harus dipertahankan.
c.
Berlebihan. Ini adalah kategori bagi atribut yg tingkat
kepentingannya di bawah rata-rata (relatif kurang penting), akan tetapi
performanya berada di atas rata-rata (relatif baik). Berlebihannya adalah
secara relatif. Dengan kata lain, dibanding atribut lain yg lebih penting,
seharusnya performa atribut tersebut lebih rendah sesuai dengan tingkat
kepentingannya yg relatif rendah juga. Apakah kualitasnya diturunkan? Ya.
Tetapi, patokannya adalah tingkat kepentingannya. Kalau mau diturunkan,
penurunannya berbicara kualitas relatif. Artinya, performanya maksimal sampai
performa rata-rata saja. Memang perhatian utk atribut ini perlu diturunkan.
Soalnya, suatu atribut yg berlebihan, malah dapat menurunkan kepuasan konsumen.
d.
Prioritas
rendah. Ini juga termasuk
kondisi masuk akal, dimana atribut yg tingkat kepentingannya di bawah rata-rata
(relatif kurang penting), performanya juga di bawah rata-rata. Dengan kata
‘prioritas rendah’, apakah atribut yg termasuk dalam kategori ini (ketepatan
waktu mengajar para instruktur, mutu instruktur & kebersihan)
diabaikan saja? Sama sekali tidak. Dikatakan prioritas rendah juga berbanding
secara relatif dengan atribut lain yg lebih penting. Dengan kata lain, atribut
lain yg lebih pentinglah yg didahulukan. Didahulukan dalam hal apa? Dalam hal
alokasi sumberdaya, pelatihan & pengembangan serta promosi. Dalam promosi misalnya,
jangan promosikan atribut yg tingkat kepentingannya di bawah rata-rata (relatif
kurang penting).
Bagaimana kalau keempat rekomendasi ini dilakukan dengan
baik? Pada akhirnya, semua atribut akan mengumpul pada 2 kuadran,
yaitu kuadran “pertahankan” & kuadran “prioritas rendah”. Ini adalah konsisi yg baik.
Kondisi yg tidak baik adalah kalau kebanyakan atau malah semua atribut
terdistribusi ke dalam kuadran “prioritas utama” & “berlebihan”.
Kalau ini terjadi berarti perusahaan belum melakukan manajemen atribut produk
berdasarkan tingkat kepentingannya. Terakhir, dengan skala relatif seperti di
atas, tidak mungkin atribut mengumpul hanya pada satu kuadran.